Ini Alasannya Kenapa Hindu di Bali Menyembah Pohon
Pulau Bali merupakan pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Agama Hindu Bali dan keberagaman tradisinya sudah menjadi roh pulau dewata ini. Selain itu, tradisinya juga banyak mengajarkan umatnya untuk berperilaku.
Dari beberapa sumber sejarah, kepercayaan Hindu masuk ke Indonesia untuk pertama kalinya sekitar abad ke-15 SM. Tetapi sebagian besar warisan Bali berkembang pada saat kerajaan Majapahit berkuasa dibawah pemerintahan Hayam Wuruk. Pada saat itu kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan dengan daerah kekuasaan selain pulau Bali, yaitu Semenanjung Malaya selatan, Kalimantan, Sumatra dan daerah lainnya. Pada zaman itu, dilahirkan mahakarya kesusastraan Hindu Jawa dan artistik yang sampai sekarang dijadikan dasar seni Bali. Seperti yang kita semua ketahui, Bali dikenal sebagai tujuan destinasi wisata dunia mulai dari alam, budaya, dan tradisinya. Sangat banyak pengaruh-pengaruh asing yang masuk ke pulau ini, namun demikian dengan dibentengi iman dan kepercayaan ajaran-ajaran Hindu, masyarakat Hindu Bali mampu memfilter budaya-budaya asing tersebut dengan baik.
Dewa Tertinggi Orang Hindu Bali
semakin banyaknya film Itihasa dan purana dipertontonkan di indonesia, menyebabkan kebingungan beberapa umat hindu bali yang sedang "mencari jati diri" dan mencari pembenaran atas keyakinannya. kejadian ini menjadi semakin goyangnya keyakinan gama tirtha dibali, karena beberapa umat tersebut mulai mengesampingkan ajaran dari mpu kuturan, yang telah berjuang mempersatukan sekte/sampradaya yang dulunya banyak berkembang di Bali.
bila dipikir kembali, mungkinkah umat hindu bali kembali mundur pemahaman agama hindunya?
dari mendalami ajaran universal hindu melompat mundur mempelajari sekte-sekte yang diidolakan. bukankah sekte tersebut bagian dari hindu? inilah yang aneh bin ajaib yang terjadi dibali.
orang-orang beramai-ramai memuja dewa-dewanya, dan mengesampingkan local-genius yang sudah mengakar sebagai konsep hindu yang universal.
dengan memuja satu dewa tertinggi dan menggapnya sebagai tuhan, bukankah itu sudah menyalahi dasar keimanan hindu sendiri?
mohon diingat, bahwa pokok-pokok keimanan hindu adalah percaya dengan adanya Tuhan, Atma, Karmaphala, Punarbhawa, dan Moksa.
sudah jelas yang tertinggi itu TUHAN bukan DEWA... entah apapun nama dewanya, entah disebut dewata... semua itu masih ciptaan Tuhan, semua itu
yang sama-sama memperjuangkan kebaikan menurut versinya masing-masing.
selama masih ada dalam lingkup hukum karma, tidaklah wajar kalau kita menyambah satu dewa tertinggi dan menganggapnya tuhan.
bila ada pernyataan yang mengatakan, beliau adalah sinar suci tuhan, yang memberikan pemahaman agama dan bla bla bla... mohon diingat, sinar suci beliau memang dewa, TETAPI bukan pada satu dewa saja... mungkin semeton hindu LUPA, kalau TUHAN menciptakan ATMA dan KARMA untuk kita... sinar suci TUHAN tersebut bukankah disesuaikan dengan fungsinya masing-masing (manifestasi), kalau begitu, mungkinkah ada sinar besar (utama) dan senar yang kecil?
mari pahami bersama.... Dewa itu diciptakan berdasarkan fungsi pokoknya...
kenapa? karena beliau itu sebenarnya hanya satu saja... orang bijak yang menyebutnya dengan banyak nama, lupakah semeton dengan hal itu..?
karena, DEWA merupakan sinar suci berdasarkan fungsi, hendaknya semeton sama menyembah/memujanya untuk memperoleh apa tujuan utama hidup anda semua.
kenapa harus demikian?
apakah salah jika, misalnya: saya suka krisna karena beliau menurunkan bhagawadgita.. atau saya pemuja siwa karena dibali aliran terbesar adalah siwasidhanta?
tujuan agama hindu adalah "moksatam jagathita ya ca iti dharma"
arti kasarnya adalah..
moksa merupakan tujuan agama tertinggi, tetapi saat ini carilah kebahagiaan hidup (jagathita), penuhilah kewajibanmu, bahagiakan orang-orang yang kamu cintai tetapi semua itu harus berdasarkan dharma.
lo, bagaimana caranya?
banyak cara, bisa dilihat dari sisi Catur Asrama yang diselaraskan dengan Catur Purusa Artha dan Catur warna yang diselaraskan dengan Catur Purusa Artha.
Mengenal Aktivitas/Tradisi Keseharian Umat Hindu di Bali
Pada setiap daerah di Indonesia pasti memiliki suatu aktivitas yang sudah menjadi tradisi. Masyarakat dari masing-masing daerah tersebut juga memiliki aktivitas yang menjadi tradisi keagamaan setiap hari. Selain memohon perlindungan dan berkah, hal ini juga tidak terlepas bertujuan sebagai wujud puji syukur dan rasa terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua berkah yang telah dianugerahi kepada kita semua. Berikut ini adalah beberapa contoh tradisi keagamaan Hindu yang terdapat di pulau Bali.
Ketika mengunjungi rumah-rumah orang Bali, khususnya umat Hindu, maka kita akan menjumpai sebuah cangkir kecil berisi kopi dan jajanan pada sebuah wadah kecil yang dihaturkan di sanggah (tempat bersthana) setiap rumah. Hal ini lazim disebut mesodan.
Pada saat masyarakat Hindu Bali selesai memasak, sebelum makan, umat Hindu akan memotong daun pisang dengan ukuran kecil, kemudian diberi nasi sukla (nasi yang baru selesai dimasak atau belum dimakan) secukupnya dan lauk sukla atau biasanya juga menggunakan sayur dan kacang. Setelah itu dihaturkan di setiap sanggah atau pelinggih dan pekarangan rumah. Hal ini bertujuan untuk mengucap rasa syukur atas berkah dan anugerah pangan yang telah diberikan Tuhan.
Mejejaitan adalah suatu aktivitas dimana umat Hindu Bali membuat sarana upacara untuk keperluan keagamaan. Bahannya terdiri dari slepan (daun kelapa tua), busung (daun kelapa muda), ental (sejenis daun mirip lontar), dan semat sebagai perekat yang dibuat dari bambu yang diiris kecil. Jenis-jenis jejaitan pun cukup beragam, yakni mulai jejaitan untuk sesajen upacara kecil hingga untuk sesajen upacara besar. Adapun aktivitas mejejaitan biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.
Metanding adalah aktivitas dimana umat Hindu Bali membuat atau mengatur sesajen untuk keperluan upacara. Pada aktivitas keseharian, umat Hindu Bali metanding atau membuat canang dengan jejaitan ceper atau daun pisang dan di atasnya ditambah berbagai bunga.
Aktivitas mebanten merupakan akivitas utama umat Hindu di Bali, dimana aktivitas ini dilakukan dengan meletakkan canang, rarapan, dan dupa lalu dipercikkan tirta (air suci) dan diayap sambil mengucapkan mantra. Canang dihaturkan di setiap pelinggih dan sanggah serta tempat-tempat tertentu.
Beberapa artikel menarik lainnya:
Metuunan atau meluasang, prosesi untuk memohon petunjuk kepada roh orang yang telah meninggal
Beberapa warga masih memiliki kepercayaan untuk berkomunikasi dengan roh orang yang telah meninggal. Mereka akan datang ke orang pintar atau di Bali sering disebut balian (dukun) atau ada yang disebut dengan Jro Dasaran untuk melakukan hal tersebut. Prosesi ini sering disebut dengan istilah metuunan atau meluasang.
Saat prosesi metuunan, pihak keluarga akan berkomunikasi dengan roh keluarga yang meninggal melalui perantara si orang pintar. Banyak hal yang melandasi warga melakukan hal ini. Misalnya saja ada rasa penasaran ingin menanyakan penyebab kematiannya, ada juga yang meminta petunjuk terkait pelaksanaan upacara yang akan dilakukan sebaiknya seperti apa, atau mungkinkah ada permintaan mendiang untuk keluarganya, dan sebagainya.
Metuunan atau meluasang ini tidak hanya untuk orang meninggal saja. Bisa juga dilakukan untuk hal-hal lainnya. Misalnya ingin menanyakan penyebab seseorang mengalami sakit, siapa yang reinkarnasi di tubuh seorang bayi, dan sebagainya. Prosesi metuunan atau meluasang ini lebih kepada kepercayaan masing-masing orang.
Ngulapin, prosesi untuk roh orang yang meninggal
Jika seseorang meninggal di luar rumah, maka keluarga akan melakukan prosesi atau upacara ngulapin. Seperti yang pernah diulas Bali.idntimes.com, upacara ngulapin bertujuan untuk menuntun roh kembali ke asalnya. Contoh, jika seseorang meninggal di rumah sakit atau meninggal karena kecelakaan, maka keluarga akan melakukan upacara ngulapin di tempat orang tersebut meninggal.
Umat Hindu percaya, saat orang meninggal karena kecelakaan atau meninggal di suatu tempat, rohnya masih berada di tempat tersebut atau meminjam istilah umumnya bergentayangan. Upacara ngulapin inilah yang akan menuntun roh tersebut pulang ke tempat badan kasarnya disemayamkan, yang kemudian akan dilakukan prosesi ngurug maupun ngaben.
Dewa Tertinggi berdasarkan Catur Asrama
seperti yang telah diketahui, catur asrama merupakan tahapan hidup seseorang, dimana seorang manusia baiknya mengawali hidupnya dengan tahap belajar, kemudian dilanjutkan ke tahap berrumah tangga, tahap melepaskan diri dari ikatan keluarga dan terakhir tahap menjadi seorang sepiritual.
adapun dewa-dewa yang dipuja setiap tahap pastilah berbeda, mungkin sama tetapi harusnya berbeda, karena fungsi dewa/dewi yang dipuja pastilah berbeda, contohnya:
Dewa Tertinggi pada tahap brahmacari,
Brahmacari merupakan tahap belajar, dimana tahap belajar ini dilakukan seumur hidup kita, sehingga yang dipuja adalah yang berkaitan dengan pusat-pusat inspirasi dan pengetahun. sehingga, misalnya bagi seseorang yang masih pada tahap belajar, menjadi murid ataupun mahasiswa, dewa tertingginya adalah Dewi Saraswati.
Dewa Tertinggi pada tahap Grahasta,
Grahasta adalah tahapan hidup membangun keluarga, bermasyarakat serta bersosialisasi. tahap grahasta ini merupakan tahap melakukan praktek atas apa yang dipelajari saat brahmacari. sehingga dapat dikatakan bahwa brahmacari merupakan tahap awal grahasta.
pada tahap ini, untuk ukuran dijaman sekarang, tujuan tertinggi dalam tahap grahasta adalah untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang disekeliling kita, disamping menyumbangkan pikiran serta uang (artha) sangatlah penting, karena itu carilah uang sebanyak-banyaknya, bahagiakan dirimu, keluargamu dan bersosialisasilah, baik dalam banjar, desa adat serta dilingkungan-keseharianmu dan jaga semua itu dengan dharma.
pada tahap grahasta inilah awal normalnya awal terbentuknya catur warna. jadi Dewa tertinggi pada saat grahasta pasti akan berbeda-beda, karena disesuaikan dengan profesi yang sedang dilakoni.
mengenai penentuan jenis profesi hidup, silahkan baca: "
begitupula profesi-profesi lainnya, pasti akan berbeda-beda dewa tertinggi setiap orang, karena berhubungan dengan profesi yang dijalani.
Dewa utama pada tahap wanaprasta,
pada tahap ini, diharapkan umat hindu sudah banyak pengalaman, karena sudah melewati masa brahmacari dan grahasta, diharapkan umat sudah bisa lebih bijaksana, menekankan penyebaran ajaran, menjadi pemuka agama ataupun adat, memberi contoh dalam menjalani kehidupan. wanaprasta tidaklah harus kehutan berpuasa serta berlajar menghindari buas-nya kehidupan hutan, tetapi lihatlah hutan tersebut sebagai pergaulan, yang lebih buas dari harimau, puasalah di lingkungan anda, tidak hanya puasa tidak makan seperti dihutan tetapi puasa mengendalikan indria, keinginan dan ego. sehinga dewa yang dipuja berkaitan dengan kebijaksanaan, seperti dewa siwa, ganesha, gayatri dll
Dewa utama pada masa Sanyasin/biksuka
tahap akhir adalah sanyasin, merupakan tahap dimana seseorang benar-benar melepaskan ikatan duniawi dan mulai mendalami spiritual keagamaan, dimana dibali lebih dikenal sebagai kelompok sulinggih.
mungkin akan ada pertanyaan, berarti apakah setiap umat hindu wajib menjadi sulinggih? jawabannya IYA, tapi mampukah anda..?
dilihat dari tugasnya, sanyasin hanya bertapa, meditasi, melakukan pendekatan diri kepada tuhan? apa-bedanya dengan para sulinggih, yang rutinitasnya nyurya-sewana tiap pagi, siang, sore serta acara-acara muput yadnya lainnya. seorang sanyasin hanya menggantungkan hidupnya dari sedekah, karena itu sebagai umat yang memahami dharma wajib menghaturkan punia kepada para sanyasin sebagai salahsatu wujud dari rsi yadnya. secara samar dihaturkan punia oleh orang-orang yang meminta beliau untuk muput yadnya. tapi memang realitanya, banyak pendeta/sulinggih yang sengaja meminta-minta derma, dengan alasan muput yadnya tetapi punianya ditarifkan.
melihat tugas pokok dari sanyasin, maka dapat dipaparkan bahwa dewa utama yang dipuja adalah dewa siwa, yang selalu meditasi untuk keselamatan dunia atau dewa surya yang selalu memberikan pencerahan.
Dewa Tertinggi dilihat dari Urutan Panca Sembah
seperti yang telah diketahui, urutan panca sembah ada 5 point, yaitu sembah puyung, sembah kepada dewa surya, sembah kepada dewa yang dipuja, mohon anugrah dari para dewa tersebut dan ditutup dengan sembah puyung kembali.
merupakan sembah pertama kali, dengan tanpa sarana (puyung), mencakupkan tangan di depan kepala. jika dilihat dari mantranya " om atma tatwatma (tatwa atma)...." menunjukkan bahwa yang tertinggi itu adalah ATMA itu sendiri... sesuai dengan pokok-pokok keimanan agama hindu, dimana atma merupakan tuhan itu sendiri yang berada di dalam tubuh ciptaannya (manusia).
Sembah kedua menggunakan sarana bunga
sembah ini ditujukan kepada dewa surya. dan menurut pandangan secara umum, beliau dipuja karena sebagai saksi kehidupan serta karena beliau merupakan murid terbaik dari dewa siwa sehingga beliau diberi gelar hyang siwa raditya (surya murid dewa siwa).
tetapi, coba kita perhatikan kembali dari akar kata DEWA, dimana "div = sinar". bila dilihat dari kasat mata, apakah yang bersinar di sekeliling kita? sudah tentu ada 2 sumber sinar yaitu matahari dan api. mungkin inilah sebabnya, bila memuja dewa atau melakukan persembahyangan dewa surya tidak pernah luput dari pujaan begitupula
indikasi dewa surya sebagai dewa tertinggi dapat dilihat dari sastra dasa aksara, dimana disebutkan bahwa, 10 huruf suci kemujisatan itu adalah "Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya" dan bila dibaca dengan dialek bahasa bali maka akan terbaca "Sa Bete Ai, Nama Siwa ya" yang artinya asalkan bersinar terutama Matahari, bisa disebut sebagai siwa. pemahaman ini dikembangkan oleh sekta siwasidhanta yang dominan menguasai spiritual di bali. jadi Matahari alias Surya dilihat sebagai sesuatu utama.
tidak hanya dibali saja, bahkan dari jaman awal peradaban manusia, dewa surya dinobatkan sebagai dewa tertinggi, merupakan wakil tuhan.
, ia dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Ṛgveda X. 7. 3), matanya Mitra dan Varuṇa, sebagai dewanya mata atau maha melihat, sebagai pengukur hari (Ṛgveda 1. 50.7), sebagai pencipta segalanya (Ṛgveda 1. 170. 4), sebagai planet angkasa (Ṛgveda X. 177. 1), sebagai roda (Ṛgveda 1. 175.4), pemusnah kegelapan, penyembuh orang sakit dan sebagai pandita (Purohita) bagi para dewa (Ṛgveda VIII. 90.12). Kata Svar (Svah) sebagai asal kata Sūrya. Ia juga disebut Divakara (Atharvaveda IV. 10. 5. Ia digambarkan sebagai laki-laki berkulit hitam kemerah-merahan, memiliki tiga mata dan bertangan empat, dua tangannya memegang bunga teratai, dan dua yang lainnya dalam sikap memberi anugrah. Ia duduk di atas bunga padma (teratai merah) dan dari seluruh tubuhnya memancar cahaya. Ia dipuja setiap hari oleh para rohaniwan melalui pembacaan Gāyatrī mantram.
Dalam Viṣṇu Puraṇa dinyatakan mempunyai istri bemama Sangna, saudaranya Visvakarma, melahirkan tiga orang putra. Di dalam Bhavisya Puraṇa, ia disebut sebagai dewa tertinggi, sedang dalam Brahma Puraṇa ia disebut memiliki 12 nama, sesuai dengan nama 12 Āditya (Dvadasaditya). Kusir kreta dewa Sūrya benama Aruṇa, keretanya ditarik dengan 7 ekor kuda (mengingatkan warna cahaya yang dibiaskan) sedang dewi Candrā keretanya ditarik oleh 12 ekor kuda (mengingatkan 12 bulan setahun)
bila dilihat dari urutan tersebut diatas, dapat diperhatikan bahwa, Persembahan dewa surya mendapat posisi nomor 2, jadi memiliki posisi penting bagi warga Bali. disamping itu, stana Dewa surya selalu hadir dalam setiap upacara yadnya. disamping itu seorang sulinggih juga disebut sebagai surya bagi sisya-nya. dan sulinggih rutin melakukan pemujaan surya-sewana.
tergantung Tahapan Hidup dan Warna seseorang
tidak ada DEWA yang dipuja seumur hidup, bahkan menjadikan SATU DEWA sebagai Tuhan
kira-kira dimana kurangnya bali?
kenapa harus mecari-cari pembenaran kesana kemari?
kenapa tidak lebih mendalami hindu, daripada menyembah satu dewa tertinggi saja?
karena itu kesimpulan saya sebagai pemuda hindu bali yang sudah menikah, Dewa Tertinggi Orang Hindu Bali bagi saya pribadi yang layak kita puja saat ini adalah Sang Hyang Sri Dhana, beliaulah dewa bisnis, dewa kekayaan, yang disamakan dengan dewa kuwera, dewi laksmi.
kenapa kita harus memujanya?
karena saat ini, selama kita belum menginjak wanaprasta, belum siap meninggalkan tanggungjawab menjadi kepala keluarga, yang belum siap meninggalkan anak dan istri serta orang tau dan kerabat, yang belum siap bersikap adil dalam artian luas, UANG itu merupakan salah satu indikator utama jagathita dimasa grahasta, tanpa uang anak tidak sekolah, tanpa uang keluarga tidak makan, tanpa uang semua kegiatan terhenti, tanpa uang akan sulit melakukan yadnya dengan ikhlas... grahasta itu identik dengan Artha dan Kama, orang stres karena uang, orang bingung karena uang... Sang Hyang Sridhana lah sumber kebahagiaan...
tapi semua itu, dalam mencari jagathita tetap berpegang dengan dharma.
Kematian adalah lingkaran kehidupan yang harus dilalui setiap orang. Artikel kali ini akan membahas mengenai prosesi yang dilakukan saat seseorang meninggal di Bali menurut Hindu. Hindu percaya, bahwa roh orang yang meninggal harus diupacarai agar bisa menyatu kepada Sang Pencipta.
Selain Ngaben atau upacara pembakaran jenazah, ada beberapa prosesi atau tradisi yang dilakukan di Bali. Berikut ini adalah beberapa tradisi atau prosesi orang meninggal di Bali.
Baca Juga: Mengenal Ngaben Tikus di Tabanan dan 4 Tradisi Unik Lainnya
Baca Juga: Makna Upacara Ngulapin saat Orang Bali Terkena Musibah
Ngurug, prosesi mengubur jenazah
Jika tidak melakukan upacara ngaben, maka jenazah haruslah dikubur terlebih dahulu di kuburan desa adat setempat. Prosesi mengubur jenazah di Bali sering disebut dengan istilah ngurug atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah mekinsan ring pertiwi (dititip di tanah/pertiwi). Keluarga dan warga setempat akan membawa jenazah dari rumah ke kuburan adat desa setempat.
Prosesi ngurug ini menggunakan beberapa sarana upacara dan dipimpin oleh seorang pemangku (orang suci dalam agama Hindu). Setelah melakukan prosesi penguburan, nantinya keluarga akan melakukan Tradisi Memunjung pada hari-hari tertentu di kuburan tersebut. Biasanya dilakukan pada hari raya seperti Galungan dan Kuningan. Saat memunjung, keluarga akan membawakan makanan ke kuburan anggota keluarga yang telah meninggal, seolah-olah seperti menghaturkan makanan dan minuman kepada keluarga yang telah meninggal.
Nyiramin, prosesi memandikan jenazah
Saat orang meninggal, jenazahnya terlebih dahulu disemayamkan di kamar yang ada di rumah orang tersebut. Sebelum jenazah diupacarai, keluarga dan warga setempat akan memandikan jenazah yang disebut dengan prosesi nyiramin (memandikan jenazah). Dikutip dari laman Bali.kemenag.go.id, untuk memandikan jenazah ini memiliki tata cara tersendiri dan beberapa sarana upacara.
Prosesi nyiramin dilakukan di halaman rumah. Jenazah dikeluarkan dari tempat disemayamkan sebelumnya menuju ke tempat untuk memandikan yang disebut pepaga. Pepaga terbuat dari bambu yang memiliki bentuk seperti tempat tidur seukuran jenazah. Jenazah akan dibersihkan, kemudian dikenakan pakaian yang bersih.
Keluarga orang yang telah meninggal akan menghaturkan sembah bhakti agar perjalanan roh atau atma orang yang meninggal diberikan kelancaran menyatu dengan Sang Penguasa. Setelah prosesi selesai, akan dilanjutkan dengan prosesi yang disebut dengan ngeringkes. Ngeringkes ini untuk membungkus jenazah dengan kain putih dan beberapa sarana lainnya.
Setelah prosesi ngeringkes, dilanjutkan dengan menaruh jenazah di bale dangin atau bale upacara (bangunan khusus untuk melaksanakan upacara yang biasanya terletak di bagian Timur area rumah). Saat jenazah disemayamkan di bale dangin atau bale upacara, keluarga atau orang-orang terdekat menghaturkan punjung atau disebut memunjung. Memunjung ini simbol menghaturkan makanan kepada roh atau arwah orang yang telah meninggal tersebut.
Megebagan, bermalam di rumah duka
Megebagan adalah kegiatan sosial yang dilakukan oleh warga banjar saat ada warganya yang meninggal. Selama megebagan, warga akan datang secara bergiliran di malam hari ke rumah duka. Megebagan sebagai cara untuk mendukung keluarga yang sedang berduka.
Tidak ada kegiatan khusus yang dilakukan saat megebagan. Warga hanya datang untuk berkumpul, saling mengobrol, dan lainnya. Megebagan juga menjadi ajang untuk mempererat rasa persaudaraan sesama warga banjar di Bali.
Megebagan akan dimulai saat jenazah telah berada di rumah duka. Pemimpin banjar atau kelian akan memberikan informasi kepada warganya bahwa ada seorang warga yang meninggal. Biasanya Megebagan selesai selama dua atau tiga hari setelah jenazah dikubur.
Umat Hindu percaya akan adanya hari baik dalam melakukan kegiatan sehari-hari, terutama yang berhubungan dengan upacara. Oleh karena itu, setelah ada orang yang meninggal, keluarga beserta pengurus banjar akan mencari hari baik untuk menentukan kapan rentetan prosesi-prosesi di atas dilaksanakan. Tata cara pelaksanaan, sarana upacara, dan sebagainya memiliki perbedaan antara satu desa dengan desa lainnya. Semuanya menyesuaikan kebiasaan dan adat istiadat desa setempat.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Agama Hindu di bali ialah hindu bali (bahasa indonesia: Agama Hindu Dharma; Agama Tirtha; Agama Air Suci; Agama Hindu Bali) ialah bentuk agama Hindu yang diamalkan oleh majoriti penduduk Bali. Ini terutamanya dikaitkan dengan orang Bali yang tinggal di pulau itu, dan mewakili bentuk penyembahan Hindu yang berbeza yang menggabungkan animisme tempatan, penyembahan nenek moyang atau Pitru Paksha, dan penghormatan kepada orang suci Buddha atau Bodhisattva.
Penduduk pulau-pulau Indonesia kebanyakannya beragama Islam (86%).Pulau Bali adalah pengecualian di mana kira-kira 87% penduduknya mengenal pasti sebagai Hindu (kira-kira 1.7% daripada jumlah penduduk Indonesia).
UUD 1945 menjamin kebebasan beragama kepada semua warganegara.Pada tahun 1952, kata Michel Picard, seorang ahli antropologi dan sarjana sejarah dan agama Bali, Kementerian Hal Ehwal Ugama Indonesia berada di bawah kawalan konservatif yang sangat mengekang definisi yang boleh diterima tentang "agama".Untuk diterima sebagai agama rasmi Indonesia, kementerian mendefinisikan "agama" sebagai agama monoteistik, telah mengkodifikasikan undang-undang agama dan menambah beberapa syarat.
Selanjutnya, Indonesia menafikan hak kerakyatan (seperti hak untuk mengundi) kepada sesiapa yang bukan menganut agama monoteistik yang diiktiraf secara rasmi. Minoriti Hindu Bali menyesuaikan dan mengisytiharkan bentuk Hinduisme mereka sebagai monoteistik, dan membentangkannya dalam bentuk yang layak secara politik untuk status agama. Oleh yang demikian, Hindu Bali telah diiktiraf secara rasmi oleh kerajaan Indonesia sebagai salah satu agama rasmi yang diamalkan di Bali.
Pengaruh Hindu sampai ke Kepulauan Indonesia seawal abad pertama Masihi.Bukti sejarah tidak jelas tentang proses penyebaran idea budaya dan rohani dari India. Legenda Jawa merujuk kepada zaman Saka, dikesan ke 78 CE. Kisah-kisah dari Mahabharata telah dikesan di pulau-pulau Indonesia hingga abad ke-1, yang versinya mencerminkan yang terdapat di Tamil Nadu.
Begitu juga, Chandis purba (kuil) yang digali di pulau Jawa dan barat Indonesia, serta prasasti purba seperti prasasti Canggal abad ke-8 yang ditemui di Indonesia, mengesahkan penggunaan meluas ikonografi Shiva lingam, dewi pendampingnya Parvati, Ganesha, Vishnu, Brahma , Arjuna, dan dewa-dewa Hindu yang lain pada kira-kira pertengahan hingga akhir milenium pertama CE. Rekod Cina kuno tentang Fa Hien semasa pelayarannya kembali dari Ceylon ke China pada 414 CE menyebut dua aliran Hindu di Jawa,manakala dokumen Cina dari abad ke-8 merujuk kepada kerajaan Hindu Raja Sanjaya sebagai Holing, memanggilnya "sangat melampau. kaya," dan mengatakan bahawa ia hidup bersama secara aman dengan orang Buddha dan pemerintah Sailendra di Dataran Kedu di pulau Jawa.
Empat Kesultanan Islam yang pelbagai muncul di utara Sumatera (Aceh), selatan Sumatera, barat dan tengah Jawa, dan selatan Borneo (Kalimantan) menjalankan dakwah dan ramai yang menerima Islam.
Dalam kes lain, penganut Hindu dan Buddha meninggalkan dan menumpukan sebagai komuniti di pulau-pulau yang boleh mereka pertahankan. Hindu di Jawa barat bergerak ke timur dan kemudian ke pulau Bali dan pulau-pulau kecil yang berdekatan, dengan itu memulakan Hindu Bali.Semasa era konflik agama dan peperangan antara Kesultanan sedang berlangsung, dan pusat kuasa baru cuba untuk menyatukan wilayah di bawah kawalan mereka, penjajah Eropah tiba.Kepulauan Indonesia tidak lama kemudian dikuasai oleh empayar kolonial Belanda.
Empayar kolonial Belanda membantu mencegah konflik antara agama, dan secara perlahan-lahan memulakan proses penggalian, pemahaman dan pemuliharaan asas budaya Hindu-Buddha Indonesia purba, khususnya di Jawa dan kepulauan barat Indonesia.
Selepas merdeka daripada penjajahan Belanda, Perkara 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama kepada semua warganegaranya. Pada tahun 1952, Michel Picard menyatakan, Kementerian Agama Indonesia berada di bawah kawalan Islamis yang sangat mengekang definisi yang boleh diterima tentang "agama". Untuk diterima sebagai agama rasmi Indonesia, kementerian mendefinisikan "agama" sebagai agama monoteistik, mempunyai undang-undang agama, memiliki nabi dan Kitab Suci, antara keperluan lain. Hindu Bali telah diisytiharkan sebagai "orang tanpa agama", dan tersedia untuk ditukar. Hindu Bali tidak bersetuju, berdebat, menyesuaikan, dan mengisytiharkan bentuk Hinduisme mereka sebagai monoteistik, dan mengemukakannya dalam bentuk yang layak untuk status "agama" di bawah artikel yang dipinda 1952.
Untuk mencapai matlamat ini, Hindu Bali telah memulakan satu siri inisiatif pertukaran pelajar dan budaya antara bali dan india untuk membantu merumuskan prinsip teras di sebalik Hinduisme Bali (catur veda, upanishad, puranas, itihasa). khususnya, gerakan politik penentuan nasib sendiri di bali pada pertengahan 1950-an membawa kepada petisyen bersama 1958 yang menuntut kerajaan indonesia mengiktiraf hindu dharma.petisyen bersama ini memetik mantra sanskrit berikut dari kitab suci hindu:
fokus petisyen kepada "yang tidak berbelah bahagi" adalah untuk memenuhi keperluan perlembagaan bahawa warganegara Indonesia mempunyai kepercayaan monoteistik kepada satu tuhan. pempetisyen mengenal pasti ida sanghyang widhi wasa sebagai yang tidak berbelah bahagi. dalam bahasa bali, istilah ini mempunyai dua makna: "penguasa Ilahi Alam Semesta" dan "Undang-undang Kosmik Mutlak Ilahi". Frasa kreatif ini memenuhi syarat monoteistik Kementerian Agama Indonesia dalam pengertian dahulu, manakala pengertian terakhir maknanya mengekalkan idea-idea pusat dharma dalam skrip kuno Hindu.
Bali menjadi satu-satunya bahagian Indonesia yang kekal dengan majoriti Hindu
Hindu Bali merupakan gabungan agama Hindu dan adat animisme pribumi yang wujud di kepulauan Indonesia sebelum kedatangan agama Hindu.
Ia mengintegrasikan banyak kepercayaan teras agama Hindu dengan seni dan ritual orang Bali. Pada zaman kontemporari, agama Hindu di Bali secara rasmi disebut oleh Kementerian Agama Indonesia sebagai Agama Hindu Dharma, tetapi secara tradisinya agama ini dipanggil dengan banyak nama seperti Tirta, Trimurti, Hindu, Agama Tirta, Siwa, Buda, dan Siwa-Buda.
Istilah Tirta dan Trimurti berasal dari Hinduisme India, yang sepadan dengan Tirtha (ziarah ke kerohanian berhampiran perairan suci) dan Trimurti (Brahma, Vishnu, dan Shiva) masing-masing. Seperti di India, agama Hindu di Bali berkembang dengan fleksibiliti, menampilkan cara hidup yang pelbagai. Ia merangkumi banyak idea kerohanian India, menghargai legenda dan kepercayaan Purana India dan Epik Hindu, dan menyatakan tradisinya melalui set perayaan dan adat yang unik yang dikaitkan dengan pelbagai hyang - roh tempatan dan nenek moyang, serta bentuk korban haiwan yang tidak biasa di India.
(left), the Divine Oneness and supreme god of Balinese Hinduism. Acintya is a part of temples, home shrines and ceremonies, remembered with a colourfully decorated stone seat,
Kepercayaan dan amalan umum Agama Hindu Dharma seperti yang diamalkan di Bali adalah campuran tradisi kuno dan tekanan kontemporari yang diletakkan oleh undang-undang Indonesia yang membenarkan hanya kepercayaan monoteis di bawah ideologi kebangsaan panca sila.
Secara tradisinya, pagama Hindu di Indonesia mempunyai jajaran dewa dan tradisi kepercayaan itu berterusan dalam amalan; seterusnya, agama Hindu di Indonesia memberikan kebebasan dan kelonggaran kepada penganut Hindu tentang bila, bagaimana dan di mana untuk berdoa.Walau bagaimanapun, secara rasmi, kerajaan Indonesia menganggap dan mengiklankan Hindu Indonesia sebagai agama monoteistik dengan kepercayaan tertentu yang diiktiraf secara rasmi yang mematuhi ideologi kebangsaannya.
Buku teks sekolah Indonesia menggambarkan Hinduisme sebagai mempunyai satu makhluk tertinggi, Hindu menawarkan tiga sembahyang wajib setiap hari, dan Hindu sebagai mempunyai kepercayaan umum tertentu yang sebahagiannya selari dengan Islam.Pertikaian ulama sama ada kerajaan Indonesia ini mengiktiraf dan menugaskan kepercayaan untuk mencerminkan kepercayaan dan amalan Hindu tradisional Bali sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan daripada penjajahan Belanda.
beberapa kepercayaan hindu yang diiktiraf secara rasmi oleh kementerian agama indonesia termasuklah:
Teks-teks suci yang terdapat dalam Agama Hindu Dharma ialah Veda dan Upanishad.Mereka adalah asas agama Hindu India dan Bali. Sumber maklumat agama lain termasuk Purana Hindu Universal dan Itihasa (terutamanya Ramayana dan Mahabharata). Epik Mahabharata dan Ramayana menjadi tradisi abadi di kalangan penganut Indonesia, diekspresikan dalam wayang kulit (wayang) dan persembahan tarian. Seperti di India, Hinduisme Indonesia mengiktiraf empat jalan kerohanian, memanggilnya Catur Marga.Ini adalah bhakti mārga (jalan pengabdian kepada dewa), jnana mārga (jalan pengetahuan), karma mārga (jalan pekerjaan) dan raja mārga (jalan meditasi). Bhakti Marga mempunyai pengikut terbesar di Bali.
Begitu juga, seperti Hindu di India, Hindu Bali percaya bahawa terdapat empat matlamat hidup manusia yang betul, memanggilnya Catur Purusartha - dharma (mengejar kehidupan bermoral dan beretika), artha (mencari kekayaan dan aktiviti kreatif), kama (the mengejar kegembiraan dan cinta) dan moksha (mencari pengetahuan diri dan pembebasan).
Some of many Hindu gods and goddesses of Balinese Hinduism: Ganesha (left), Wisnu on Garuda (right).
Hindu bali merangkumi konsep triniti India yang dipanggil trimurti yang terdiri daripada:
Dalam teks Hindu Bali, konsep tripartit alternatif Shiva dari Shaivisme India juga ditemui. Ini biasanya disebut dalam bahasa Bali sebagai "Siwa-Sadasiwa-Paramasiwa", di mana Shiva adalah pencipta, pemelihara dan pemusnah kewujudan kitaran.
Bersama-sama dengan triniti Hindu tradisional, Hindu Bali menyembah pelbagai tuhan dan dewi (Hyang, Dewata dan Batara-Batari), serta lain-lain yang unik dan tidak terdapat dalam Hinduisme India. Sang Hyang Widhi secara literal bermaksud "Tatanan Ilahi",juga dikenali sebagai Acintya ("Tidak Dapat Dibayangkan")atau Sang Hyang Tunggal ("Keesaan Ilahi"),adalah konsep dalam tradisi Hindu Bali yang selari dengan konsep metafizik Brahman dalam kalangan penganut Hindu India. Upacara termasuk kerusi tinggi yang kosong. Ia juga terdapat di bahagian atas kuil Padmasana di luar rumah dan kuil. Ini untuk Sang Hyang Widhi Wasa.
Idea aksiologi Hindu Bali selari dengan idea Hindu India. Walau bagaimanapun, menyatakan Martin Ramstedt - seorang sarjana Hindu di Asia Tenggara, mereka diistilahkan agak berbeza dan diteruskan dari satu generasi ke generasi seterusnya sebagai sebuah komuniti dan pada upacara kerohanian. Tidak seperti sekolah Islam di Indonesia dan Hindu Ashram di India, dan berdasarkan perwakilan rasmi Hindu Bali, ajaran dan nilai tradisional diperoleh di rumah, ritual, dan simbol agama.
Sebagai contoh, perlambangan yang berkaitan dengan percikan "tirtha", atau air suci yang menghubungkan material dan spiritual, air ini mula-mula dipercikkan di atas kepala dan difahami sebagai "penyucian manah (akal)", kemudian diteguk untuk difahami sebagai. "penyucian wak (pertuturan)", dan kemudian ditaburkan ke atas badan yang melambangkan "penyucian kaya (sikap dan tingkah laku)". Dengan demikian, kata Ngurah Nala, generasi muda menjadi “terbiasa dengan nilai-nilai etika yang terkandung dalam konsep Tri Kaya Parisudha, atau pencapaian pikiran yang murni atau baik (manacika), ucapan yang murni atau baik (wacika), dan perilaku yang murni (kayika)".
Terdapat sejumlah tiga belas upacara yang berkaitan dengan kehidupan dari pembuahan sehingga, tetapi tidak termasuk, kematian, yang masing-masing mempunyai empat elemen: penenang roh jahat, penyucian dengan air suci, penyaluran intipati, dan doa. Upacara ini menandakan peristiwa besar dalam kehidupan seseorang, termasuk kelahiran, akil baligh, pemberian makanan bijirin, dan perkahwinan.
Bayi yang baru lahir dipercayai mewakili jiwa moyang dan dianggap sebagai tuhan untuk 42 hari pertama kehidupannya. Bagaimanapun, ibu dianggap tidak suci dan tidak dibenarkan menyertai sebarang aktiviti keagamaan dalam tempoh ini. Seorang bayi tidak boleh menyentuh tanah yang tidak suci sehingga berumur 105 hari, separuh jalan ke perayaan ulang tahun pertamanya mengikut kalendar Pawukon Bali 210 hari. Apabila kanak-kanak itu mencapai akil baligh, enam gigi taring atas difailkan sehingga mereka genap.
Upacara yang paling penting berlaku selepas kematian dan mengakibatkan jiwa dibebaskan untuk akhirnya dijelmakan semula. Tidak seperti upacara kematian agama-agama lain, badan fizikal tidak menjadi tumpuan, kerana ia dilihat tidak lebih daripada bekas sementara jiwa dan hanya sesuai untuk pelupusan yang sewajarnya. Malah, jasad mesti dibakar sebelum roh boleh meninggalkannya sepenuhnya. Upacara pembakaran mayat untuk melakukan ini boleh menjadi sangat mahal kerana upacara yang rumit adalah cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada jiwa yang ditakdirkan untuk menjadi tuhan dengan kuasa yang besar ke atas mereka yang ditinggalkan. Oleh itu, mayat kadangkala dikebumikan buat sementara waktu sehingga keluarga dapat mengumpul dana yang mencukupi untuk pembakaran mayat, walaupun mayat imam atau keluarga kelas tinggi dipelihara di atas tanah.
Perayaan yang paling penting ialah Galungan (berkaitan dengan Deepavali), perayaan kemenangan dharma ke atas adharma. Ia dikira mengikut kalendar Pawukon Bali 210 hari dan berlaku pada hari Rabu (Buda) minggu kesebelas (Dunggulan). Menurut tradisi, roh orang mati turun dari Syurga, untuk kembali sepuluh hari kemudian di Kuningan.
Nyepi, atau Hari Hening, menjadikan permulaan tahun Saka Bali dan ditandai pada hari pertama bulan ke-10, Kedasa. Ia biasanya jatuh pada bulan Mac.
Watugunung, hari terakhir kalendar Pawukon, dikhaskan untuk Saraswati, dewi pembelajaran. Walaupun ia dikhaskan untuk buku, membaca tidak dibenarkan. Hari keempat dalam setahun dipanggil Pagerwesi, yang bermaksud "pagar besi". Ia memperingati pertempuran antara kebaikan dan kejahatan.
struktur kasta bali telah diterangkan dalam kesusasteraan eropah awal abad ke-20 berdasarkan tiga kategori - triwangsa (tiga kelas) atau bangsawan, dwijati (lahir dua kali) berbeza dengan ekajati (pernah dilahirkan) orang biasa. empat status telah dikenal pasti dalam kajian sosiologi ini, dieja sedikit berbeza daripada kategori kasta untuk india:
kasta brahmana telah dibahagikan lagi oleh ahli etnografi Belanda ini kepada dua: Siwa dan Buda. Kasta Siwa terbahagi kepada lima - Kemenuh, Keniten, Mas, Manuba, dan Petapan. Klasifikasi ini adalah untuk menampung perkahwinan yang diperhatikan antara lelaki Brahmana kasta tinggi dengan wanita kasta rendah. Kasta-kasta lain juga turut diklasifikasikan lebih lanjut oleh ahli etnografi abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini berdasarkan pelbagai kriteria yang terdiri daripada profesion, endogami atau eksogami atau poligami, dan pelbagai faktor lain dengan cara yang serupa dengan kasta di jajahan Sepanyol. seperti Mexico, dan kajian sistem kasta di tanah jajahan British seperti India.
Bali mempunyai sistem kasta yang serupa dengan sistem India dalam bentuk purbanya. Di India purba, kasta dipanggil varna, bermaksud pewarnaan jiwa neutral atau lutsinar atau kecenderungan jiwa untuk berkelakuan mengikut kecenderungan tertentu berdasarkan sifat semula jadinya. Berdasarkan kecenderungan ini orang memilih profesion mereka. Kemudian proses melalui hakisan ini menjadi sistem berasaskan keturunan/kelahiran. Sistem yang sama ini telah diterima pakai di Bali dan ia dipanggil 'Wangsa' yang berkaitan dengan profesion nenek moyang. Walau bagaimanapun, di Bali hari ini, tanpa mengira profesion individu, mereka mengaku milik wangsa keluarga mereka. Terdapat empat wangsa atau profesion asas, yang dikenali secara kolektif sebagai caturwangsa—semua orang Bali tergolong dalam kumpulan ini. Tiga wangsa teratas ialah Brahmana, Satria (atau Ksatriya) dan Wesia (atau Wesya), mewakili golongan bangsawan, dan dikenali sebagai triwangsa. Wangsa keempat dan paling biasa ialah Sudra.
Kumpulan wangsa ini dibahagikan, dan masing-masing mempunyai nama tertentu yang dikaitkan dengannya. Para guru dan pendeta, Brahmana, mempunyai lima subdivisi, dan dikatakan berasal dari satu individu. Lelaki dan wanita mempunyai Ida sebagai nama pertama mereka. Ksatriya adalah pemerintah dan pahlawan tradisional. Nama tipikal wangsa ini ialah "Dewa Agung", "Anak Agung" dan "I Dewa". Wesia, yang kebanyakannya dipanggil Gusti, dianggap sebagai pedagang dari pelbagai jenis. Wangsa yang paling biasa di Bali dari segi bilangan ialah Sudra kerana 90% penganut Hindu Bali tergolong di dalamnya; mereka membentuk rakyat jelata sebagai petani dan lain-lain. Pandes atau Tukang Besi mempunyai 'klan' istimewa yang tidak disebut dalam kumpulan Catur Wangsa tetapi dianggap penting terutamanya kerana kerja mahirnya dan menjadi tukang besi api, Dewa Agni atau Dewa Brahma.
Dalam keadaan apa pun, orang Hindu Bali tidak boleh memakan daging manusia, kucing, monyet, anjing, buaya, tikus, ular, katak, ikan berbisa tertentu, lintah, serangga penyengat, gagak, helang, burung hantu, atau mana-mana burung pemangsa yang lain.
Ayam, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan laut digunakan secara meluas. Penganut Hindu, terutamanya mereka yang tergolong dalam varna (kasta) Brahmin dan Kshatriya, dilarang memakan atau menyentuh daging lembu dan jarang menyentuh daging babi; selain itu, mereka tidak boleh makan di jalan atau pasar, minum alkohol, atau merasai persembahan barangan tersebut.
Apakah Orang Katolik Menyembah Maria?
“In periculis, in angustiis, in rebus dubiis, Mariam cogita, Mariam invoca..Ipsam sequens, non devias; ipsam rogans, non desperas; ipsam agnitans, non erras,; ipsa tenete, non currius; ipsa protegente, non metuis; ipsam duce non fitigaris; ipsa propiti, pervenis” --St. Bernardus
Bunda Maria selalu memiliki tempat istimewa di hati umat Katolik. Ia menjadi ibu yang senantiasa memberi waktu, hati, dan telinga bagi setiap anak yang datang padanya. Karenanya, Bunda Maria bukan hanya ibunda Yesus Sang Juru Selamat, melainkan Bunda Segala Bangsa, Bunda Semua Umat Manusia.
Di Jawa, orang menyebut Maria sebagai Dewi Maria. Bagi orang Jawa, Dewi adalah sapaan pada pribadi luhur dan dihormati. Ia selalu menjadi lambang kesuburan, kehidupan, sekaligus pengharapan. Sementara di Flores, Bunda Maria disebut Ine. Ine berarti Ibu. Ungkapan bahwa Maria adalah ibu merupakan ungkapan yang lahir dari kedalaman relasi. Maria memiliki tempat yang spesial di hati. Tempat bagi setiap anak datang mengadukan segalanya: kegagalan maupun keberhasilan, kegembiraan maupun kesedihan.
Dengan kata lain, berdoa kepada Bunda Maria selalu membawa seseorang merasa berada dalam pelukan hangat kasih seorang Ibu. Ibu yang memberi rasa nyaman, kedamaian, dan ketenangan. Karenanya tidak mengherankan apabila segala yang berkaitan dengan Bunda Maria begitu akrab di tengah umat, mulai dari Doa Rosario, Novena Tiga Salam Maria, Ziarah Gua Maria, dan segala bentuk devosi lain. Semua itu adalah tanda bahwa Bunda Maria memiliki tempat yang istimewa di tengah umat. Dengan demikian, benar perkataan St. Bernardus di awal tulisan ini: dengan dan bersama Maria, kita dikuatkan dan dimampukan dalam menghadapi badai dan arus kehidupan.
Bunda Maria di Mata Umat Beragama Lain
Bagi saudara kita non-Katolik, tentu tidak mudah untuk memahami arti dan peran Bunda Maria. Meski demikian, mereka tentu sadar bagaimana peran Bunda Maria bagi umat Katolik.
Orang Katolik sering dituduh menyembah berhala karena dianggap menyembah patung. Padahal lagi-lagi, yang disembah bukanlah patung sebagai sebuah benda mati, melainkan pribadi yang direpresentasikan oleh patung tersebut. Patung adalah tanda yang membantu umat untuk sampai pada Tuhannya.
Lebih jauh, ada yang menyebut bahwa orang Katolik melakukan penyembahan berhala. Tuduhan ini lahir dari tafsiran atas Kitab Keluaran 20:4-5; "Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku."
Mengutip W. Gunter Plaut dalam The Torah A Modern Commentary (1981), dikatakan bahwa Allah melarang pembuatan patung menyerupai apapun yang tujuannya untuk disembah. Karenanya, larangan membuat patung harus dipahami dalam kesatuan larangan menyembah patung. Perlu diketahui bahwa larangan pembuatan patung untuk disembah itu adalah kebiasaan bangsa-bangsa kafir yang membuat patung-patung yang kemudian disembah sebagai dewa-dewi. Itulah berhala karena menjadikan pribadi selain Allah sebagai allah baru.
Gereja Katolik tidak pernah membuat patung Yahweh (Allah Bapa) yang tidak kelihatan itu. Karenanya tidak ada patung Yahweh. Yang dibuat hanyalah patung Yesus Kristus. Dia memang Allah tetapi sejauh menjelma menjadi manusia, Dia bisa kita gambarkan sebagai manusia, tetapi bukan untuk disembah patungnya. Begitu juga dengan patung Bunda Maria dan para kudus. Yang dikutuk dalam Roma 1:18-25 misalnya, adalah penyembahan berhala sebagai ganti penyembahan kepada Tuhan pencipta.
Mardi Atmadja dalam bukunya Maria Sang Nabi (2003), menuliskan bahwa penghormatan umat Katolik terhadap Bunda Maria tidak dapat diterima dan dipahami oleh orang beragama lain karena hal ini berkaitan dengan iman dan ajaran iman. Iman dan ajaran iman tidak dapat begitu saja dijelaskan kepada orang yang tidak mempercayai atau berbeda caranya.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa ada gejala menarik, yakni semakin banyak orang dari gereja Non-Katolik atau agama lain yang melakukan ziarah ke Lourdes, Fatima, Benneaux, Guadalupe, atau di Sendangsono, Jawa Tengah. Bunda Maria semakin menjadi bahan pembicaraan – “enteng ataupun berat” – di segala lapisan pertemuan antar Gereja.
Benarkah Orang Katolik menyembah Bunda Maria?
Para teolog Katolik membedakan beberapa lapisan penghormatan, yang dalam tradisi kerap memakai istilah Yunani. Pertama latria, yaitu penyembahan, yang khusus diperuntukkan bagi Allah. Itu berbeda dengan kedua, hyperdulia (kebaktian) yang diberikan kepada Bunda Maria. Ketiga, dulia (penghormatan) yang disampaikan kepada orang kudus lain (bdk. Maria Sang Nabi, 50).
Dalam hal ini, jelas bahwa tuduhan bahwa orang Katolik itu menyembah Bunda Maria tidaklah benar. Sebab, yang disembah orang Katolik adalah Allah. __Bunda Maria itu dihormati, bukan disembah. Bunda Maria istimewa karena Bunda Maria adalah ibu Yesus, ia tokoh penting bagi sejarah keselamatan umat Kristiani. __
Alan Schreck dalam Catholic and Christian: An Explanation of Commonly Misunderstood Catholic Beliefs (1844) menuliskan, orang Katolik menghormati (honor) dan melihatnya sebagai ibu dalam iman, tetapi tidak menyembah (worship) Bunda Maria atau berdoa kepada Bunda Maria sebagaimana berdoa kepada Tuhan. Menyembah itu hanya untuk Allah. Orang Katolik percaya bahwa dengan perantaraannya (intercession) akan membawa rahmat dan belas kasih Tuhan yang besar. Ini dikarenakan hubungannya yang spesial dengan Yesus, bukan karena dirinya sendiri (her own merits). Hal yang sama pula dengan penghormatan kepada para kudus.
Selain ada tuduhan bahwa orang Katolik menyembah Bunda Maria, tuduhan juga berlanjut. Orang Katolik juga dituduh menyembah patung. Tuduhan ini menjadi benar jika yang disembah adalah patung dan menjadikan patung itu adalah Allah. Padahal, orang Katolik itu hanya menyembah Allah. Dan patung-patung seperti patung Yesus, Maria, dsb, adalah sarana agar umat semakin mampu mengarahkan hati pada Allah. Yang disembah adalah orang yang digambarkan dalam patung itu, bukan patung itu sendiri.
Kita ambil contoh Devosi kepada Bunda Maria. Neuner dan Dupui dalam The Christian Faith in the Doctrinal Document of the Catholic Church (1982) menuliskan bahwa devosi kepada Bunda Maria adalah jawaban orang beriman atas peran Bunda Maria dalam rencana keselamatan ilahi (bdk. sejarah Gereja, Devosi kepada Bunda Maria ini dibela oleh Konsili Nikaia II (787, jauh sebelum zaman Reformasi tahun 1517 dan seterusnya) yang mengizinkan gambar/patung boleh menjadi sarana menghormati dia yang digambarkan. Dengan kata lain patung adalah alat peraga atau simbol, ataupun tanda yang dipakai umat untuk semakin dekat dan mengarahkan diri pada Allah).
Di lingkungan Katolik juga terdapat banyak sekali lukisan mengenai Bunda Maria dalam segala bentuknya. Ini terjadi karena umat Katolik sangat menghormati Bunda Maria dan membawa iman dalam segala segi hidup. Bunda Maria dihormati bersamaan dengan penghormatan kepada Kristus. Sebab, pengaruh Bunda Maria berasal dari kelimpahan jasa-jasa Kristus, bertumpu pada perantaraan-Nya, bergantung sekali pada-Nya, dan menimba kekuatannya dari pada-Nya.
Pidyarto Gunawan dalam Umat Bertanya Rm. Pid Menjawab (2000), memberikan jawaban yang gamblang bahwa orang Katolik tidak menyembah patung. Mengapa? Karena fungsi patung mirip dengan foto orang-orang yang dikasihi, entah yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Orang suka memajang atau menyimpan foto-foto tersebut di dompet agar orang merasa lebih dekat dengan sosok di foto tersebut. Fungsi patung juga mirip bendera. Bendera melambangkan suatu bangsa. Karenanya, menghina bendera dianggap sama dengan menghina bangsa pemilik bendera tersebut.
Patung-patung dalam di Gereja Katolik pun dimaksudkan untuk memudahkan ingatan kita pada pribadi yang digambarkan patung itu. Kita bisa saja membuat patung-patung itu dari Gereja Katolik. Akan tetapi, kalau orang merasa tertolong dengan adanya patung, mengapa dibuang? Karena orang menghormati pribadi yang digambarkan oleh patung itu, tentu saja orang Katolik memperlakukan patung-patung itu secara terhormat. Hanya saja perlu diperhatikan, praktek berlebihan dari umat Katolik terhadap patung, misalnya mencium, dan sikap berlebihan lainnya memberi kesan kepada orang luar bahwa kita menyembah patung.
Pada akhirnya perlu ditegaskan sekali lagi bahwa pertama, umat Katolik tidak menyembah Bunda Maria. Yang disembah adalah Allah saja. Bunda Maria itu dihormati. Devosi dan segala bentuk kebaktian kepada Maria adalah bentuk usaha umat yang menunjukkan rasa hormat dan cinta pada pribadi yang berperan besar dalam sejarah keselamatan kita.
Kedua, umat Katolik itu tidak menyembah patung. Yang disembah adalah orang yang digambarkan dengan patung itu. Patung adalah sarana yang membantu umat semakin dekat pada pribadi yang ada di balik patung tersebut. Dengan kata lain, patung itu sarana membantu umat untuk semakin dekat pada pribadi yang diimani.
Meski demikian, pertanyaan itu akan selalu relevan manakala umat Katolik hanya fokus pada keindahan patung saja dan lupa pada pribadi yang sebenarnya.
Terlepas dari semua itu, marilah kita terus mendekat dan akrab pada Bunda Maria. Sebab Bunda Maria adalah ibu kita. Hal ini jelas pada pesan terakhir Yesus sebelum wafat di kayu salib, “Ibu inilah anakmu!” dan “Anak, inilah ibumu!”(Yoh 19:26-27).
Semoga kita menjadi anak-anak yang mampu membuat ibu Maria tersenyum, ya, Sobat YOUCAT!
*Note: Dalam bahaya, dalam kesesakan, dalam kebimbangan, pikirkanlah Maria, berserulah kepada Maria…Bila mengikutinya, kamu tidak akan salah langkah; bila meminta kepadanya kamu tidak akan putus asa; bila memikirkannya, kamu tidak akan tersesat; bila ia menuntunmu, kamu tidak akan jatuh; di bawah perlindungannya kamu tidak perlu merasa takut; dalam bimbingannya kamu tidak akan kelelahan, bila ia berkenan kepadamu kamu akan mencapai akhir peziarahanmu. *